Hai, kenalkan namaku Amira, aku anak yang paling enggak suka bertengkar. Aku punya sahabat, namanya Alissa, dia anak yang baik dan pintar ngaji, tapi enggak sombong. Dan, kami punya teman yang sering buat onar, dan bikin kita kesel banget... Namanya Dinda. Lanjut ke ceritaku ya...
Pagi hari, di sebuah sekolah bernama SMP Aisyah...
"Pagi Ra, datang cepat nih," kata Alissa. Biasanya aku datang tidak sepagi dia. "Pagi juga Sa. Iya, lagi pengen dateng cepat saja," jawabku dengan tersenyum. "Teman-teman, lihat nih, aku punya barang langsung dari pabrik, yaitu tas. Papaku beli di Paris," kata Dinda yang membuat seluruh anak yang ada di kelas menuju ke arah mejanya. "Ah, cuma barang seperti itu. Aku bisa dapat barang yang sama dengan gratis. Papaku itu orang yang ngecek barang dari luar negeri," kata Runia. "Tapi kamu enggak bisa dapat dompet dari Amerika ini," kata Dinda dengan sedikit kesal. "Sudah aku bilang, aku bisa dapat barang dari luar negeri dengan gratis..." kata Runia. "Iiiiiiiih. Ya sudah," kata Dinda dengan kesal. Kami yang melihatnya hanya tertawa.
Saat mengaji... Dengan mahir, Alissa membaca al-qur'an. Lalu bagianku, aku masih sedikit-sedikit salah. Kalau Dinda, semakin parah. "Din, yang di pikirin tuh ibadah, bukan barang dari luar negeri..." kataku. "Kayak aku nih, pintar ngaji, enggak kayak kamu," kata Alissa. "Iya," kata Dinda dengan sedikit cemberut. "Kenapa cemberut Din?" tanyaku. "Aku kurang dapat perhatian dari mama papaku, aku hanya di kirimin barang-barang luar negeri. Padahal yang aku inginkan kasih sayang mereka. Jadi aku sombong," kata Dinda. "Sabar ya Din," kataku. "Huuuu, sombong-sombong latar belakangnya kayak gitu. Enggak banget," kata Alissa. "Sa, kok kamu jadi sombong? Kasihan Dinda," kataku. "Terserah aku," kata Alissa, lalu pergi. "Ra, makasih ya sudah membuat aku sedikit tenang," kata Dinda. "Iya. Aku kejar Lisa dulu ya," kataku. Dinda hanya mengangguk. "Sa, maafin aku kalau sudah nyakitin hatimu," kataku saat aku melihat Alissa berjalan menuju kelas. "Males. Kamu tuh mau sama Dinda kan?" jawab Alissa dengan sinis. "Enggak kok, aku ini sahabtmu Sa," kataku sambil memegang tangan Alissa. "Halah, bohong. Sudah, kamu sama Dinda saja sana," kata Alissa. "Aku enggak suka tengkar sama kamu seperti ini Sa. Kok kamu jadi gini sih? Jadi sombong, jutek, dan marah sama aku," kataku. "Terserah aku," kata Alissa, lalu pergi. "Sa, kalau seperti ini aku males jadi sahabatmu," teriakku. "What ever!" jawab Alissa. "Ra, maaf ya, ini semua karena aku," kata Dinda yang tiba-tiba berada di belakangku. "Enggak apa-apa kok. Aku memang sudah enggak cocok sama Alissa," kataku.
"Sa, aku rasa perilakumu ke Amira sudah keterlaluan deh. Amira jadi sedih tau," kata Dinda. "Bukan urusanku. Dia bukan sahabatku lagi," kata Alissa. Aku yang mendengarnya menitikkan air mata. "Ok, ini semua gara-gara aku. Aku minta maaf. Kamu harus kembali ke Amira. Kalian tampak kompak jika bersama," kata Dinda. Tiba-tiba Alissa menitikkan air mata, dan langsung berlari ke arahku. "Ra, maafin aku ya. Aku cemburu kamu dekat dengan Dinda," kata Alissa sambil memelukku. "Iya Sa, enggak apa-apa kok," kataku, lalu memeluk erat tubuh Alissa.
Akhirnya, Alissa, Amira, dan Dinda bersahabat selamanya. Dan tak pernah berpisah dan bertengkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar