Hai namaku adalah Rina. Aku belum punya sahabat. Dan, aku adalah tempat untuk di salahkan jika ada suatu masalah di kelas. Coba teman-teman pikir, aku marah enggak kalau di gituin. Ya pasti marah... Aku sudah cerita pada orang tuaku, tapi mereka tidak menanggapi dengan serius.
"Assalamualaikum teman-teman," sapaku. Tapi tak ada yang menjawab. Ku ulangi lagi, tapi tak ada yang mejawab. Aku mulai kesal, padahal aku mendo'akan mereka, tapi mereka tak meghiraukan. "Kok enggak ada yang jawab sih," teriakku. Teman-teman hanya menatapku, dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Aku berjalan menuju pojok kelas, dan duduk di lantai. Aku menangis. Setelah itu aku berpikir, menangis tak akan merubah suasana. Aku pun langsung duduk di tempat duduk yang masih kosong. Dan menaruh tasku pada loker.
Kring...
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru," kata wali kelasku, Bu Lestari. "Teman-teman, kenalkan namaku Nabila," kata sang murid baru. "Nabila, kamu duduk di kursi kosong itu ya," kata Bu Lestari sambil menunjuk bangku yang berada di sebelahku. "Baik bu," jawab Nabila. "Hai, namaku Rina, senang bertemu denganmu," sapaku saat Nabila sudah duduk. "Senang bertemu denganmu juga," balas Nabila.
Kring... Kring...
"Nabila, sudah istirahat nih, ke kantin yuk," kataku. "Ayo," jawab Nabiila singkat. "Mau beli apa?" tanyaku saat sudah sampai di kantin. "Pangsit mie," kata Nabila.
Saat di kelas...
"Bil, boleh curhat enggak?" tanyaku. Nabila hanya mengangguk. "Bil, aku itu selalu di salahin teman-teman jika ada masalah di kelas. Aku sudah cerita pada orang tuaku, tapi mereka tak menanggapi dengan serius," kataku. "Hah, masa sih? Padahal aku kira orang-orang disini baik," kata Nabila. "Kamu salah Bil," kataku. "Ah, uangku hilang. Rina, ini semua pasti gara-gara kamu. Sekarang kembalikan uangku. Atau tidak, aku akan laporkan kamu pada Bu Lestari," kata Aida. "Aku enggak ngambil uangmu Da. Dari tadi aku sama Nabila terus, dan enggak pernah piah dari Nabila. Ya kan Bil?" jawabku. "Ya benar. Kenapa sih kalian nuduh Rina seperti itu. Kan belum ada buktinya..." jawab Nabila. "Heh anak baru, enggak usah sok pahlawan ya. Rina itu sudah pernah ketahuan mencuri tau..." kata Siena, salah satu teman Aida. Semua yang ada di kelas mengangguk. "Apa benar Na?" tanya Nabila. "Ya, tapi dulu. Sekarang aku enggak mau mencuri lagi..." jawabku dengan muka tertuduk. "Dengar kan teman-teman, itu dulu. Dan Rina tidak mau mengulanginya lagi. Apa kalian tidak percaya pada dia? Dia juga teman kalian. Dia juga warga kelas ini..." kata Nabila, dia membela aku. "Iya ya, tapi kita enggak akan percaya sama Rina lagi," teriak Aida. "YA," kata seluruh anak yang ada di kelas. "Rina kan sudah minta maaf, maaf kan dia dong. Coba kalian pikir, kalian berada di posisi Rina, kalian pasti sakita hati. Jadi jangan sakiti Rina. Dia juga saudara kita..." Nabila tetap membela. "Jangan sok ya anak baru. Kamu tuh enggak tau apa-apa. Kalau kamu tau masa lalu Rina, kamu pasti tak kan memaafkan dia," kata Siena. "Memang apa masa lalunya?" tanya Nabila. "Mencuri handphone milik Aida dan Siena. Tapi aku sudah minta maaf pada mereka. Dan sudah mengembalikan handphone mereka. Aku melakukan itu karena ingin membuat bangga keluargaku. Aku tau itu salah, jadi aku mengembalikannya," kataku sambil menitikkan air mata. "Ayolah, maafkan Rina... Please," kata Nabila. "Ok! Kita maafkan, untuk nama baik kelas dan nama baik kita," kata Roni, sang ketua kelas. "Apa?" teriak Siena dan Aida. "Sudahlah, semua yang di katakan Nabila itu benar," kata Roni. "Baiklah," kata Aida dan Siena. Akhirnya, Rina dan teman-temannya berbaikan. Dan Rina punya sahabat, yaitu Nabila...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar